2.
Pemahaman Teknologi Biofloc
2.1. Definisi
Bio-Floc berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan floc, flock yang berarti gumpalan.
Menurut Rod McNeil dalam Boyd (2002) floc dalam tambak, adalah bahan organik
hidup yang menyatu menjadi gumpalan. Sedangkan menurut Conguest and Tacon,
(2006) Bio-Floc adalah partikel yang teraduk oleh aerasi dan sirkulasi, yang terdiri
dari kumpulan organisme autotrof dan heterotrof (bakteri, fitoplankton, fungi,
ciliate, nematoda dan detritus) dan bahan tak hidup.Sementara Tacon et al.
(2002) mendefinisikan Floc adalah kumpulan berbagai mikroorganisme termasuk
bakteri, algae, fungi, protozoa, rotifera, nematoda dan gastroricha. Rosenbery
(2006), Floc adalah gampalan yang merupakan kumpulan dari bakteri.
Penebaran Benur Udang Vannamei di Secaba Farm |
2.2 Konsep dan Keunggulan Teknologi Biofloc serta
Persyaratannya
Konsep penerapan biofloc adalah mengubah
senyawa nitrogen anorganik yang bersifat racun (amonia) menjadi bacterial
protein, sehingga bisa dimakan hewan pemakan detritus seperti udang vaname. Prosesnya,
bahan organik dalam tambak diaduk dan diaerasi agar terlarut dalam
kolom air untuk merangsang bakteri heterotrof aerobik menempel pada partikel
organik, selanjutnya menyerap mineral seperti amonia, fosfat dan nutrient lain
dalam air. Hasilnya, kualitas air menjadi lebih baik dan bahan organik
didaur ulang menjadi detritus yang diperkaya.
Budidaya udang dengan sistem BioFloc
pada prinsipnya adalah mengembangkan komunitas bakteri dalam tambak.
Menumbuhkan dan menjaga dominasi bakteri di dalam tambak adalah lebih stabil
daripada dominasi algae (plankton) karena tidak tergantung sinar matahari.
Ualitas air lebih stabil sehingga penggunaan air sedikit (hanya nambah) karena
ada pembuangan lumpur. Microba penyebab penyait tertekan. Bakteri terkumpul
dalam suatu gumpalan yang disebut Floc. Semakin
banyak floc yang terbentuk akan semakin besar pula perannya dalam merombak lima
nitrogen 10-100x lebih efisien daripada algae. Dapat bekerja siang maupun
malam. Sedikit dipengaruhi cuaca. Merubahan limbah nitrogen menjadi makanan
berprotein tinggi bagi udang. Budidaya udang dengan Bio-Floc dapat dilakukan
dimana saja. Baik di daerah tropis, sub tropis, di kota, dalam bangunan maupun
green house (Chamberlain, 2000).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam menerapkan budidaya udang dengan sistem Bio-Floc, antara lain:
-
Pemasangan
filter pada air masuk
-
Reservoir
dan tambak pengendapan
-
Benur
bebas penyakit dengan padat tebar yang cukup tinggi
-
Tanpa/sedikit
pergantian air
-
Biosecurity
-
Aerasi
dan pengadukan cukup memadai
-
Tambak
plastik (HDPE) atau semen
-
Pembuangan
lumpur dari sentral (central drain)
-
Karbon
(gula, molase, tepung terigu) untuk merangsang perumbuhan bakteri
-
Suhu
dijaga di atas 300C
-
Laboratorium
untuk analisa mutu air dan penyakit
2.3 Biofloc
dan fungsinya di dalam tambak
Biofloc tersusun atas microorganisme
terutama bakteri yang membentuk floc, microalgae, fungi, protozoa, rotifera,
cacing, organik detritus dan serat (selulosa). Biofloc yang terbentuk dari
berbagai macam mikroorganisme yan ada di dalam tambak diharapkan memiliki
fungsi antara lain:
1.
Mengurai
bahan organik dan menghilangkan senyawa beracun,
Bakteri pembentuk floc, akan mengurai
bahan organik (protein, karbohidrat, lemak, dll.) yang berasal dari sisa pakan,
kotoran udang dan bangkai dari jasad yang mati di dalam tambak. Dengan kondisi
yang cukup oksigen (aerob) bahan organik akan di urai menjadi mineral anorganik
yang sangat diperlukan oleh fitoplankton. Amonia akan disintesis menjadi
protein sel oleh beberapa jenis bakteri, dan sebagian lagi dioksidasi oleh
bakteri nitrifikasi menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas dan selanjutnya dari nitrit menjadi nitrat oleh
bakteri Nitrobacter.
2.
Menstabilkan
dan memperbaikin mutu air,
Sebagai ciri dari floc yang sudah
terbentuk didalam tambak adalah kondisi pH yang cenderung lebih rendah dan
sangat stabil (pada umumnya kurang dari 8,2) dan goncangan pH sangat rendah
(0,1 - 0,3). Dengan pH yang lebih rendah maka pengaruh dari amonia menjadi
lebih kecil. Karena terjadi saling ketergantungan antara organisme pembentuk
floc di dalam tambak (bakteri, plankton, bahan organik dan mineral) maka
kondisi air menjadi stabil.
3.
Mengubah
amoniak menjadi protein sel dengan menambahkan karbohidrat,
Diantara jenis bakeri yang ada, ada
sebagian bakteri heterotrof aerobic yang dapat memanfaatkan secara langsung N
anorganik (amonia) menjadi protein. Salah satu contoh jenis bakteri tersebut
adalah Bacillus megaterium. Upaya
untuk mendapatkan jenis-jenis bakteri yang diharapkan muncul secara alami atau
sengaja diberikan inokulan dari probiotik yang dijual di pasaran.
4.
Menekan
organisme pathogen
Biofloc yang merupakan kumpulan dari
berbagai microorganisme (bakteri) diharapkan dapat menekan bakteri pathogen
atau bakteri yang merugikan. Beberapa bakteri diketahui dapat menekan populasi
vibrio di dalam air tambak. Bakteri tersebut mengekuarkan bahan antibiotik atau
senyawa asam organik.
5.
Berfungsi
sebagai makanan tambahan bagi udang
Kandungan nutrisi yang terdapat pada
biofloc diharapkan cukup baik dan cocok untuk nutrisi udang dan sebagai makanan
tambahan sehingga dapat mengurangi kebutuhan pakan dan menghasilkan konversi
pakan yang baik.
-
Organisme
yang terdapat dalam biofloc
Floc yang baik jenis microalgae yang
menyusunnya terdiri dari green algae dan/ diatom, serta bakteri yang
mendominasi adalah bakteri non pathogen. Sebaliknya, floc yang kurang baik
(jelek) adalah yang tersusun oleh microalgae yang merugikan seperti blue-green
algae dan dinoflagellata yang menghasilkan racun serta bakteri yang bersifat
pathogen dan atau yang menghasilkan racun (Vibrio
spp, Pseudomonas, dll).
-
Bakteripenghasil
floc
Bakteri yang mampu membentuk bioflocs
diantaranya: Zoolea ramigera, Escherichia
intermedia, Paracolobacterium aerogenoids, Bacillus subtilis, Bacillus cereus,
Flavobacterium, Pseudomonas alcaligenes, Sphaerotillus natans, Tetrad dan
Tricoda (Aiyushirota).
Menurut Gao, et.all(2006),
microorganisme yang menghasilkan biofloc antara lain bakteri, fungi, dan
actinomycetes. Microorganisme tersebut menghasilkan polimer ekstraseluler
seperti polysaccharida, protein fungsional dan glicoprotein yang berfungsi
sebagai biofloculasi. Floc yang dihasilkan oleh Bacillus sp. I-471, Alcaligenescupidus
KT201 and Bacillus subtilis IFO3335
adalah polysaccharida. Nocardia amarae YK-1,
Bacillus licheniformis dan Rhodococcus erythropolis memproduksi
floc protein sedangkan Arcuadendron sp.
TS-4 dan Arathrobacter sp.
Memproduksi biofloc glycoprotein. Alcaligenes eutrophus, Azobacter vinelandii
dan Pseudomonas oleovarians dan lain-lain dapat mensintesis PHA (poly hidroksi
alkanoat) (Salehizadeh and Loosdrecht, 2004 dalam Sinha et. al, 2008). Sedangkan Vagococcus sp. W31 yang dia teliti
menghasilkan bioflucculant yang diberi nama MBFW31.
Salah satu ciri khas bakteri pembentuk
bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat
(PHA), terutama yang spesifik seprti poli β-hidroksi butirat. Senyawa ini
diperlukan sebagai bahan polimer antara subtansi-subtansi pembentuk buoflocs
(Aiyushirota).
-
Warna Biofloc
3
macam warna floc yang terjadi di dalam tambak yang menerapkan teknologi
Biofloc, yaitu :
1)
Kecoklatan.
Floc ini memiliki pengaruh pertumbuhan udang lebih cepat, didominasi bakteri
heterotrof aerobik. Jenis bakteri yang terkandung biasanya Bacillus dan Lactobacillus
2)
Kehijauan.
Floc ini memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan udang normal, jenis bakteri
yang mendominasi adalah kelompok bakteri fotosintetik (cyanobacter)
3)
Kehitaman.
Floc ini memiliki pengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan, disamping itu,
dapat menyebabkan udang terdapat warna kehitamanpada bagian insang maupun
permukaan tubuhnya,jenis bakteri yang terkandung dapat mengakumulasi zat besi.
Floc semacam ini harus ditekan / dihindari
sedapat mungkin dengan cara menginokulasikan jenis bakteri yang baik sejak awal
(persiapan air).
Warna floc sangat penting karena dapat
menunjukan umur floc. Berdasarkan analisa Environmental Leverage Inc. ada tiga
warna microbial floc yaitu bening,kuning kecoklatan dan kehitaman. Floc yang
bening menunjukkan bahwa floc masih muda (awal), floc yang berwarna coklat
kekuningan menunjukkan floc yang cukup usia (matang) sedangkan floc yang
berwarna kehitaman, menunjukkan bahwa kondisinya kurang oksigen atau anaerobik
sehingga harus dibuang.
-
Ukuran Biofloc
Pada awalnya ukuran biofloc cukup
halus denngan warna yang transparan dan semakin hari semakin besar dan warnanya
berubah menjadi kuning kecoklatan. Berikut ini adalah ukuran biofloc dengan
diameter yang berbeda, 150 mikron, 250 mikron dan 300 mikron.
Menurut McIntos (2000) ukuran floc
pada awalnya kecil tetapi menjelang panen ukuran floc bisa mencapai 2 mm. Namun
yang harus disadari bahwa semakin besar ukuran floc semakin mudah mengendap,
sehingga aerasi dan pengadukan harus cukup kuat dan merata untuk mencegah
terjadinya pengendapan. Lebih diutamakan floc yang lebih halus, sehingga tidak
cepat mengendap (selalu melayang dalam kolom air).
-
Kepekatan
Biofloc dalam tambak
Untuk mengetahui kepekatan biofloc
dapat dilakukan dengan pengukuran kecerahan air maupun dengan pengukuran volume
floc dengan menggunakan “Imhoff con”. Pada umumnya bila floc sudah stabil
kecerahannya berkisar 10-20 cm. Pengukuran volume biofloc dapat dilakukan
dengan menggunakan alat yang dinamakan “Imhoff con”. Caranya, ambil air tambak
1 liter yang berasal dari 2 tempat yang berbeda pada kedalaman 15 cm pada waktu
jam 10.00-12.00. endapkan dalam Imhoff con selama 15-20 menit. Volume dapat
dibaca pada skala Imhoff con. Menurut Ninuk, praktisi dari PT. STP volume floc
perlu dijaga sekitar 15 cc/liter. Namun volume hingga 90 cc ternyata udang
masih cukup aman asalkan aerasi cukup untuk mencegah agar floc tetap teraduk
dalam kolom air dan tidak sampai mengendap. Namun demi amannya, sebaiknya floc
dikelola dengan kisaran 4-6 ml/L dan maksimal 8 ml/L. Kepekatan floc
berpengaruh terhadap konsumsi oksigen. Semakin tebal floc semakin tinggi
kebutuhan oksigennya.
-
Dinamika
Biofloc dalam tambak
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
biofloc itu tersusun oleh mikroba dan detritus organik, maka komposisinya juga
selalu berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh masukan
bahan organik seperti pakan, molase maupun plankton atau organisme yang mati.
Disamping itu, dinamika plankton dan bakteri juga selalu berubah setiap
saat.Adanya perubahan komposisi penyusun biofloc, secara otomatis juga
mempengaruhi perubahan nilai gizi maupun pertumbuhan udang. Adanya komponen
penyusun biofloc yang kurang menguntungkan, seperti algae yang merugikan
(dinoflagellata dan beberapa jenis blue green), bakteri yang merugikan (vibrio
dan bakteri merugikan lainnya), zooplankton (protozoa dan rotifera) yang
memakan bakteri penyusun floc, akan mengurangi pertumbuhan udang.
Oleh karena itu, dinamika biofloc akan
memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan udang. Bila biofloc yang
terbentuk adalah baik maka akan memberikan pertumbuhan yang lebih cepat dan
udangnya sehat, dan bila biofloc yang terbentuk kurang baik atau jelek maka
perrtumbuhan udang akan lambat, atau bahkan menyebabkan penyakit atau kematian
pada udang. Berdasarkan kualitas penyusunnya (Leffler et al., 2007), biofloc
dapat digolongkkan menjadi 3 macam yaitu: biofloc yang baik (good floc) yaitu
algae tersusun dari kelompok diatom dan green algae, bakteri dari jenis yang
menguntungkan, biofloc yang kurang baik (bad floc) yaitu algae yang terdiri
dari blue-green algae (cyanophyta) dan biofloc yang jahat (ugly floc) yaitu
algae yang tersusun dari jenis dinoflagellata.
Yang perlu disadari bahwa peningkatan
volume floc belum tentu diikuti dengan peningkatan komunitas mikroba (bakteri).
Biopolymer yang terbentuk (seperti polyhydroxy alkanoat, glycogen) adalah
akibat adanya rangsangan penambahan sumber karbon organik. Dalam kondisi
ammonium (TAN) rendah atau minim, bakteri akan memproduksi senyawa tersebut
untuk membentuk floc.
-
Kondisi yang mendukung
pembentuk floc
-
Bahan organik yang cukup
Syarat utama proses pembentukan floc adalah adanya
kandungan bahan organik yang cukup. Berdasarkan penelitian biofloc terbentuk
dengan baik bila Total Organik Karbon (TOC) telah mencapai 100ppm. Pada awal
budidaya, pemberian pakan masih relatif sedikit sehingga perlu adanya
penambahan bahan organik secara terus menerus untuk mendukung perkembangan
bakteri pembentuk floc. Pada umumnya, budidaya diawali dengan sistem plankton
dan setelah 6 – 8 minggu floc mulai terbentuk seiring dengan kandungan bahan
organik yang cukup tinggi.
-
C/N ratio
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa
perkembangan bakteri heterotrof pembentuk
floc sangat di pengaruhi oleh nilai C/N ratio. C/N ratio harus diusahakan
minimal 12, idelanya 15 – 20. Untuk mendapat nilai C/N ratio yang sesuai, dapat
diatur dengan menambah molase atau karbohidrat yang dicampur pakan atau di beri
melalui air. Menurut Van Wyk (1999), bila C/N ratio rendah (dibawah 10),
bakteri akan memanfaatkan N organik dan bila C/N ratio tinggi (20 atau lebih),
bakteri akan memanfaatkan N-anorganik. Sedangkan bila anatara 10 sampai 20 maka
bakteri akan memanfaatkan dua-duanya.
-
Aerasi dan Pengadukan
Oksigen sangat diperluka oleh bakteri
untuk mengurai bahan organik (protein,
lemak dan karbohidrat), mengoksidasi amonia menjadi nitrit kemudian menjadi
nitrat. Pengadukan sangat penting untuk mencegah bahan organik dan floc
mengendap, sehingga bahan organik selalu ada dalam keadaan aerobik di dalam
kolom air. Pergerakan air (arus) harus dibuat sedemikian sehinggadaerah
mati diusahakan seminim mungkin. Karena bisa arus tidak cukup kuat, bahan
organik dan floc akan mengendap sehingga kondisi menjadi anaerobik. Bakteri
akan menggunakan sulfat untuk mengoksidasi bahan organik sehingga menghasilkan
H2S yang sangat membahayakan bagi kehidupan udang.
-
Karbon dioksida
Beberapa jenis bakteri memerlukan
karbon dioksida seperti bakteri nitrifikasi (Nitrosomonas dan Nitrosomonas), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas), bakteri pengoksida
sulfide menjadi sulfat (Thiobacillus)
dan bakteri pengoksida besi dan mangan (Thiotrix).
Bakteri – bakteri tersebut tidak bisa menggunakan sumber karbon organik
sperti protein, lemak maupun karbohidrat. Aerasi dapat membantu menyediakan
karbon dioksida. Sumber karbon anorganik yang lain yang dapat dimanfaatkan oleh
bakteri chemoautotrof tersebut adalah karbonat dan bikarbonat. Namun ketika
floc sudah jadi maka CO2hasil perombakan bahan organik cukup tinggi
dan perlu dilepas ke udara dengan bantuan kincir.
-
N/P ratio
N/P ratio erat kaitannya dengan
kehidupan plankton. Bila N/P ratio rendah < 10 (artinya N berada dalam
jumlah yang sedikit) maka blue green algae yang dapat memfiksasi nitrogen
(seperti Anabaena, Anabaenopsis,
Oscillatoria) dan dinoflagellata akan berkembang. Sementara green algae dan
diatom akan tertekan perkembangannya karena kekurangan N. Sebaliknya bila N/P ratio tinggi, yang
berarti fosfat akan menjadi faktor pembatas sehingga plankton blue green algae,
green algae, diatom maupun dinoflagellata perkembangannya terbatas. Sedangkan
bakteri terutama dari kelompok Bacillus yang
dapat melarutkan fosfat dari bentuk tida tersedia bisa berkembang dengan baik.
Untuk meningkatkan nilai N/P ratio
sebaiknya menggunakan pupuk Amonium Sulfatdan tidak menggunakan urea. Dengan alasan
agar BGA tidak tumbuh. Karena BGA dapat memanfaatkan urea secara langsung. Bila
menggunakan amonium sulfat, maka ion amonium dalam air akan menghambat kerja
enzym hidrogenase sehingga tidak bisa mengambil N2 dari udara.
Disamping itu ion amonia dapat menyebabkan lysis pada BGA bila diberikan dalam
dosis tinggi (5ppm) selama 5 hari
(Aiyushirota).
Nilai
N/P ratio dalam air media budidaya akan mempengaruhi dominasi plankton yang
muncul.
-
Bila
N/P ratio rendah (dibawah 10) maka BGA akan berkembang.
-
Bila
N/P ratio 10 – 20 hampir semua jenis plankton dapat berkembang.
-
Bila
N/P ratio 20 – 30 maka green algae akan berkembang.
-
Biofloc sebagai makan tambahan bagi udang
Biofloc dapat dimanfaatkan sebagai
makanan tambahan untuk udang vaname. Protein yang terkandung dalam flocs
berkisar 45% dan kadar mineral berkisar
30% terlarut dalam partikel organik. Menurut Conguest dan Tacon (2006),
komposisi floc terdiri dari: Crude protein 35 – 50% (arginine, lysine, dan
methionine rendah), lemak 0,6 – 12% dan mineral 21 – 32%. Hasil analisis
terhadap kandungan biofloc oleh beberapa ahli disajikan pada tabel berikut ini.
Dapat dipahami bahwa biofloc tersusun
atas mikroorganisme terutamabakteri yang memiliki kandungan protein cukup
tinggi. Sementara pemanfaatan N dari pakan oleh udang hanya sekitar 30% maka N
di daur ulang menjadi protein cukup tinggi. Dalam hal ini N akan termanfaatkan
2 kali (Avnimeleh, 2009), yaitu pertama N dalam bentuk protein pakan dan kedua
N sebagai protein sel mikroba (SCP=Singel Cell Protein). Dengan demikian maka
penetapan teknologi bifloc akan menghemat biaya pakan (Nyantaw, 2006). Hal ini
disebabkan pakan yang digunakan proteinnyalebih rendah dan nilai FCR juga lebih
baik.
Tabel 1.
Komposisi Biofloc (Chamberlain, 2001)
Protein
Pakan
|
%
|
31,5
|
22,5
|
Rata–rata
|
Bahan
Organik
|
%
|
78
|
66
|
72
|
Abu
|
%
|
21
|
32
|
26
|
Protein
|
%
|
51
|
35
|
43
|
Lemak
|
%
|
10
|
15
|
12,5
|
Arginine
|
%
|
2,3
|
1,61
|
1,95
|
Methionine
|
%
|
0,61
|
0,35
|
0,48
|
Lysine
|
%
|
2,5
|
1,7
|
2,1
|
Tabel 2.
Komposisi Biofloc (Tacon et al, 2002)
Nutrient
|
Kisaran
|
Rata-rata
|
Suspensed
microbial floc (mg/l)
|
87,3
– 200,8
|
157
|
Moisture
(%)
|
5,9
– 7,3
|
6,6
|
Crude
protein (Nx6,25)(%)
|
29,2
– 34,3
|
31,2
|
Crude lipid
(%)
|
2,5
– 2,6
|
2,6
|
Cholesterol
(mg/kg)
|
470
– 490
|
480
|
Ash (%)
|
25,5
– 31,8
|
28,2
|
Groos
energy (MJ/Kg)
|
10,3
– 12,8
|
12
|
Tabel 3. Kandungan mineral dalam biofloc (Tacon, 2002)
Mineral
|
Kisaran
|
Rata – rata
|
Sodium (%)
|
0,41 – 4,31
|
2,75
|
Calsium (%)
|
0,56 – 2,86
|
1,70
|
Phosphorus
(%)
|
0,36 – 2,12
|
1,35
|
Potassium(%)
|
0,13 – 0,86
|
0,64
|
Magnesium
(%)
|
0,12 – 0,45
|
0,26
|
Zinc
(mg/kg)
|
78,3 –
577,9
|
338
|
Iron
(mg/kg)
|
170,8 –
521,0
|
320
|
Manganese
(mg/kg)
|
8,9 – 46,8
|
28,5
|
Boron
(mg/kg)
|
8,8 – 45, 7
|
27,3
|
Copper
(mg/kg)
|
3,8 – 88,6
|
22,8
|
Tabel 4.
Kandungan asam amino dalam biofloc (Tacon, 2002)
Asam Amino
|
Kisaran
|
Rata-rata
|
Methionine
+ Cystine (%)
|
0,86 – 0,93
|
0,89
|
Phenylalanine
+ Tyrosin (%)
|
2,41 – 2,54
|
2, 48
|
Isoleucine
(%)
|
1,21 – 1,26
|
1,24
|
Leucine (%)
|
1,78 – 1,97
|
1,87
|
Histidine
(%)
|
0,43 – 0,45
|
0,44
|
Threonine
(%)
|
1,44 – 1,50
|
1,47
|
Lysine (%)
|
0,90 – 0,96
|
0,93
|
Valine (%)
|
1,66 – 1,80
|
1,73
|
Arginine
(%)
|
1,46 – 1,63
|
1,54
|
Tryptophan
(%)
|
0,18 – 0,22
|
0,20
|
Total
Essential amino acids
|
24,5 – 26,3
|
25,4
|
2.4 Akumulasi Kotoran (bahan organik) dan Amonia
dalam tambak
Dalam sistem budidaya konvensional
hanya 20 – 30% C, N, dan P yang termanfaatkan, sebagian besar terbuang karena
tidak termakan dan menjadi kotoran. N yang terbuang sebagian besar berbentuk
amonia.
Selama
masa budidaya bahan organik (sisa pakan, kotoran udang dan organisme yang mati
termasuk plankton) akan terkumpul dan mengendap didasar tambak dan sebagian
bahan organik terlarut di dalam air. Hal ini memicu berkembangnya bakteri (baik
yang menguntungkan maupun yang merugikan). Kebutuhan oksigen menjadi semakin
besar. Bahan organik yang mengendap di dasar akan menyebabkan kondisi menjadi
kekurangan oksigen (anaerob) sehingga sebagian bakteri akan merombak bahan
organik dengan memanfaatkan sulfat dan nitrit. Hasil dari perombakan secara anaerobik
akan menghasilkan sejumlah senyawa beracun seperti asam sulfida, amonia, nitrit
dan metana.untuk mencegah munculnya beberapa racun tersebut dapat dilakukan
dengan cara menjaga agar selalu cukup oksigen dan bahan organik selalu dalam
kondisi teraduk serta mencegah tejadinya daerah mati sebagai tempat endapan
kotoran (lumpur). Namun bila ada sebagiankotoran yang mengendap dapat dilakukan
pembungan kotoran dengan cara membuka pipa pengeluaran (central drain) atau
dengan melakukan penyedotan lumpur (sifon).
Konsekuesi penerapan teknologi biofloc
yang melakukan sedikit atau tanpa ganti air adalah adanya penumpukan kotoran
(bahan organik), amonia dan fosfat di dalam air. Keberhasilan budidaya dengan
sistem biofloc adalah tergantung pada kemampuan mengendalikan amonia agar udang
tidak keracuna amonia. Dalam hal ini, amonia di daur ulang/disintesis
menjadiprotein sel yang dapat dimanfaatkan kembali oleh udang maupun hewan
pemakan detritus.
Amonia yang
terbentuk akibat penguraian protein sisa pakan, kotoran dan jasad yang mati
dalam tambak dapat dihilangkan atau dikurangi dengan 4 cara, yaitu:
-
Melalui pengenceran
(pergantian air)
Pergantian air untuk mengencerkan
amonia, bahan organik serta senyawa beracun lainnya umumnya dilakukan pada
sistem budidaya konvensional atau open sistem. Sedangkan pada budidaya yang
menerapkan sistem tertutup maupun sedikit ganti air, maka pengendalian amonia
dan bahan organik lebih ditekankan pada pemanfaatan microorganisme.
-
Secara photoautotrof oleh phytoplankton
Phytoplankton dapat memanfaatkan
nitrogen anorganik seperti amonia dan nitrat untuk disintesis menjadi protein
sel melalui proses fotosintesis. Cara pengendalian amonia seperti ini dikenal
dengan istilah “green water system”. Reaksi yang terjadi menurut Ebeling et.al.
(2006) adalah sebagai berikut :
Bila phytoplankton mengambil senyawa
amonia dalam proses fotosintesisnya maka akan terjadi penurunan alkalinitas,
sedangkan bila nitrat yang diambil maka alkalinitas akanmeningkat.
-
Secara chemoautotrof oleh
bakteri nitrifikasi
Senyawa amonia dapat dirombak atau
dioksidasi oleh bakteri nitrifikasi menjadi senyawa nitrat yang tidak berbahaya
bagi udang. Ada 2 tahap selama proses nitrifikasi berlangsung. Yang pertama
amonia dioksidasi oleh bakteri Nitrosomonas
menjadi nitrit
Yang
kedua senyawa nitrit dioksidasi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat
(EPA,
1975 dalam Van Wyk, 1999)
Reaksi
nitrifikasi secara ringkas yang umum dipakai:
Reaksi
nitrifikasi scara ringkas menurut Ebeling et.al. (2006)
Agar
proses nitrifikasi berjalan baik maka beberapa syarat harus dipenuhi antara
lain:
-
pH
air sekitar 7 - 8,5
-
kandungan
oksigen cukup tinggi (usahakan minimal 4)
-
ada
substrat untuk penempelan bakteri
-
tersedia
Ca yang cukup
-
semakin
rendah bahan organik, semakin cepat laju nitrifikasi.
Secara
heterotrof disintesis menjadi protein sel oleh bakteri heterotrof
Beberapa jenis bakteri heterotrof
dapat memanfaatkan amonia untuk disintesis menjadi protein dengan adanya
penambahan karbon organik (karbohidrat). Reaksi proses yang terjadi menurut
Ebeling (2006) adalah sebagai berikut:
Proses perombakan amonia yang terjadi
sangat dipengaruhi oleh nilai C/N ratio. Bila nilai C/N ratio rendah (C organik
tidak ada), maka proses perombakan amoni berlangsung secara autotrof. Bila C/N
ratio sedang (8-10), proses perombakan amonia berlangsung secara autotrof dan
heterotrof. Sedangkan bila nilai C/N ratio 12 atau lebih proses perombakan
berlangsung secara heterotrof (Ebeling, 2006).
2.5 nilai perbandingan
karbon dan nitrogen atau C/N ratio
Nilai C/N ratio meiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan floc bakteri serta kemampuan dalam
menetralkan amonia. Bakteri heterotrof dapat mensintesis protein dari
karbohidrat dan amonia. C/N ratio harus sesuai untuk keperluan bakteri. Seimbang
antara sumber C dan N. Nilai C/N ratio dalam media budidaya akan selalu
berubah-ubah tergantung dari masukan bahan yang digunakan dalam budidaya. Pakan
yang diberikan pada udang mengandung protein yang cukup tinggi dengan nilai C/N
ratio di bawah 9. Penumpukan amonia hasil metabolisme udang dan peromabakan
bahan organik oleh mikroba akan memperkecil nilai C/N ratio sehingga pada suatu
saat perlu adanya penambahan C organik untuk meningkatkan nilain C/N ratio
sekaligus untuk menekan kandungan N anorganik (amonia) yang bersifat racun.
Pada nilai C/N ratio yang rendah
mikroba yang berkembang cenderung menggunakan senyawa N organik (asam
amino,protein,amina) sebagai sumber Ndalam mensintesim protein,sedangkan pada
nilai C/N ratio yang tinggi mikroba yang berkembangmenggunakan N anorganik
(amonia dan nitrat) sebagai sumber N dalam menyusun protein dalam selnua, namun
apabikla nilai C/N ratio terlalu tinggi akan berakibat terhambatnya proses
penguraian bahan prganik karena kekurangan
unsur N (Van Wjk, 2006). Dalam penerapan teknologi biofloc,nilai C/N
ratio dapat dihitung dengan cara mengukur kandungan total organik carbon (TOC)
dan total kandungan nitrogen (TKN)
C/N
ratio =TOC : TKN
Menurut van wyk (2006) cara ini tidak
praktis untuk lapangan karana pelatannya mahal dan tidak mungkin dimiliki oleh
petambak. Maka cara yang praktis adalah dengan menghitung C/N ratio pada pakan
karena proteinya sudah diketahui.
Pakan
udang mengandung protein tinggi yaitu lebih dari 35% untuk vaname dan lebih
dari 38% untuk udang windu. Pakan dengan kandungan protein 35% nilai C/N
rationya dapat dihitung sebagai berikut.
-C
dalam pakan (berbagai formula) = 50%
-Crude
protein 35% jadi N = 35% :6,25 =5,6%
-C/N
ratio= 50%:5,6%=8,93=9
Oleh karena nilai C/N ratio rendah
maka C merupakan faktor pembatas. Agar floc bakteri dapat berkembang baik maka
harus ditambahkan C organik dari luar dan dipilih harga yang murah seperti
molase,tepung terigu,tepung ketela,dedak,tepung tapioka dan sebagainya.
-perombakan bahan organik
oleh microorganisme
Dasar
pemikiran
Proses
perombakan karbohidrat oleh bakteri
∆
CH+O2 → Cmic + CO2 + energi
Efisiensi
(ζ) = Cmic / ∆C = 0,4 – 0,6
∆
C = ∆ CH x % C
(C/N)mic
= Cmic / Nmic = 4 -6
- Kebutuhan karbohidrat
untuk menetralkan amonia
- Sel bakteri memiliki
nilai C/N ratio, (C/N) mic = 4 – 6. Misal diambil nilai terendah 4
- Efiensi (ζ) dalm mermbak
bahan organik berkisar 0,4 - 0,6. Misal
diambil nilai terendah 0,4Sehingga,
∆C = CO2 + Cmic ↔ (ζ) = Cmic / ∆C ↔ ∆C x (ζ) = Cmic
∆C x (ζ) / N = Cmic / Nmic
∆C = (C/N) mic x N / (ζ)
∆C = 4 x N / 0,4 = N x 10 ↔ ∆C = ∆CH x 50%
∆CH x 50% = N x 10
∆CH = 20 N
∆CH : Karbohidrat
N : Nitrogen Anorgannik (amonia)
N diperoleh dari hasil pengukuran amonia
Jadi untuk mengikat 1 gr N (NH4+)
diperlukan 20 gr karbbohidrat
Menurut
Avnimelech et al. (1999), karbohidrat yang ditambahkan untuk mencegah timbulnya
aminia akibat sebagain N dari pakan yang terbuang (berupa metabolit udang, sisa
pakan dan kotoran) ke dalam lingkungan tambak, dihitung dengan asumsi sbb :
-
Kandungan
N pada pakan dengan kadar protein 30% adalah 4,8%
-
Ammonia
N yang tebuang : 50%
-
C/N
ratio pada jaringan microba : 4
-
Kandungan
carbon pada carbohydrate : 50 %
-
Efficiency
sintesis protein pada microba : 40 %
-
Carbohyrate
yang harus ditambah pada pakan
= 4.8% * 50% * 4/(50% * 40%) = 48 %
∆CH = kebutuhan karbohidrat
CP =
crude protein
6,25 =
konstanta
W =
prosentase N yang terbuang
(C/N)mic = C/N ratio mikroba
%C =
kandungan (prosentase) karbon
(ζ) = efisiensi sintesa protein
0 comments:
Post a Comment
Mohon Saran dan Kritik yang membangun, terima kasih ...